SI MERAH YANG BERWUJUD PUTIH

 04  Desember 2020


Aku seorang admin di salah satu grup facebook di Indonesia. Saat itu, kami mengadakan sebuah event bertemakan “Menulis Cerpen Bersama Admin.” Aku sengaja memilih genre Creepypasta, Horror, dan Misteri untuk mengisi kegiatan tersebut.

Bukan tanpa alasan aku memutuskan untuk memilih genre tersebut. Namun, karena aku ingin tulisan dalam grup memilki beragam cerita. Awalnya, tebersit di memoriku bahwa penulis akan takut dan enggan untuk mengikuti sayembara itu.

Akan tetapi, tak kusangka ternyata jumlah cerita yang masuk cukup banyak. Aku harus bekerja ekstra untuk menilik setiap naskah dari peserta. Mulai dari tanda baca, alur, plot hole, dan lain sebagainya harus mampu kucermati dengan baik.

Setelah memasuki deadline, aku memeriksa satu per satu naskah. Beberapa kesalahan tampak menghiasi dan berusaha kuperbaiki, sambil berbagi ilmu pada sesama penulis. Dari tulisan-tulisan tersebut, aku terkesan ternyata ada sebagian peserta yang sangat piawai kala memainkan setiap untaian kata.

****

Pukul 21.00, hujan gerimis membasahi Kota Bandung. Aku baru selesai melakukan rutinitas sehari-hari sebagai seorang sales di mall elektronik terbesar di tanah Sunda. Sepanjang perjalanan, aku teringat bahwa malam ini masih ada tugas yang belum usai.

Saat itu aku baru memasuki naskah kelima belas, dari total tiga puluh satu cerita yang ikut serta dalam event. Aku melangkah menuju kontrakan di daerah Cikutra diiringi tetesan air hujan membasahi hoddie. Jalanan tampak lengang, bahkan kendaraan tidak terlalu banyak lalu-lalang.

Cuaca yang cukup dingin, mungkin membuat sebagian orang memilih untuk tinggal di rumah. Apalagi, kondisi Indonesia saat ini tengah dilanda virus mematikan. Sambil mendengarkan lagu favorit, aku terus menerka jalanan. Gemercik air terdengar memecah keheningan sepanjang langkahku.

Hanya berselang dua puluh menit, aku tiba di Babakan Baru di mana kontrakan berada di sana. Aku mempercepat langkah, agar segera sampai dan beristirahat. Jalan menuju kos-kosan melewati sungai dan sebuah sekolah.

Riuh air terdengar meski samar-samar karena alunan lagu yang berdendang di telingaku. Usai berjalan menanjak, aku memasuki sebuah gang. Tak jauh dari kontrakanku, ada sebuah rumah kosong yang menurut pemilik kos-kosan sudah lama tak berpenghuni.

Mau tak mau rumah besar itu harus kulewati, sebab jalan lain ditutup jika sudah larut malam. Aku melangkah dalam kesunyian dan sekilas melirik bangunan yang sudah tampak usang tersebut. Beberapa detik kemudian, aku akhirnya tiba di kontrakan.

Tepat di depan tempat tinggalku, ada rumah kosong yang berlantai dua. Penghuni dari bangunan itu pindah dua minggu lalu, karena masa sewa sudah habis dan tidak di perpanjang lagi. Gelap. Hanya itu yang tertangkap kedua mataku.

Setelah pintu terbuka, aku bergegas masuk untuk melepas sepatu. Derit engsel terdengar ketika pintu kembali kututup. Setiap harinya kecuali hari libur, kondisi kontrakanku memang selalu gelap. Kala rumah petak itu minim pencahayaan, aku merasakan sesuatu yang janggal.

Hal ini tidak biasa, mengingat rutinitas selalu kulakukan setiap hari. Akhirnya, aku menekan saklar dan lampu menyala. Tidak ada apa pun dan siapa pun, hanya aku saja di rumah. Semilir angin bertiup ketika kubuka jendela. Kemudian, sebuah dering dari ponsel putihku memecah keheningan.

Jumlah pesan di ponselku ada lebih dari tiga puluh dan datang dari grup. Kami melempar canda tawa, bahkan aku selalu iseng meminta bantuan semua tim untuk meringankan beban dalam pengecekan naskah.

[Bang, bantuin cek naskahku.] Aku mengirim pesan dengan emot memelas.

[Mooohhh! Punya saya juga banyak.] Balas salah satu admin.

[Mbuuuhh! Cek aja sendiri!] Balas yang lainnya lengkap dengan emoticon menjulurkan lidah.

Percakapan kutunda sesaat dan memutuskan untuk mandi kendatipun cuaca di luar sana begitu dingin. Usai membersihkan diri dan menyantap makanan, aku kembali pada tugas untuk memeriksa naskah.

“Sampai mana kemarin, ya?” Aku membuka setiap link yang masuk supaya tidak terjadi kekeliaruan.

“Ah, ini dia!”

Aku membaca kisah dari penulis yang bercerita mengenai “Perempuan Hamil Penunggu Toilet.” Setiap katanya kucoba resapi, sambil memperbaiki kesalahan dalam naskah tersebut. Ketika memeriksa naskah, waktu yang kuhabiskan tidak menentu.

Namun, satu kisah bisa menghabiskan antara tiga puluh sampai satu jam supaya dapat kucermati dengan baik isinya. Perlahan tapi pasti, akhirnya dua cerita berhasil kuperiksa. Tanpa terasa, rupanya kini sudah larut malam.

Pukul 00.48, aku beralih pada naskah selanjutnya. Ketika kubaca dengan seksama, terdapat beberapa kesalahan di sana. Berulang kali kulirik angka digital untuk terus memantau waktu. Kala itu, rasa bimbang merasuk dalam jiwaku.

“Hmm … lanjut apa jangan, ya? Tapi, sudah tengah malam.” Aku sejenak memikirkan langkah, sambil meraih sebatang rokok yang tergeletak di karpet.

“Lanjut ajalah! Ini kayaknya nggak banyak krisan.”

Penulis wanita tersebut menulis cerita mengenai “Zya, Detektif Hantu.” Baru membaca paragraf awal, semilir angin bertiup dan mengibaskan gorden biru. Tanpa memikirkan apa pun, aku kembali pada cerita sambil mengepulkan asap rokok ke udara.

Jendela malam itu sengaja belum kututup, supaya asap rokok menguar ke luar dan tidak memenuhi rumah. Lambat laun, kuhayati setiap aksara dalam cerita itu seraya memperbaiki kesalahan yang ada. Sampailah pada bagian yang menurutku cukup membuat jantung berdegup kencang.

“Makhluk berwujud kuntilanak bergaun merah. Rambut hitam panjang yang tampak terurai serta wajah yang berlumuran darah, lengkap dengan bola mata yang menggantung di pipinya.” Begitulah kutipan cerita dari salah satu peserta yang kubaca.

Entah mengapa, ketika membaca itu tubuhku bergidik. Angka digital dalam ponsel menunjukkan pukul 01.10. Aku berulang kali mengusap lengan dan mengitari kondisi sekitar. Kemudian, indera penglihatanku tertuju pada rumah dua lantai yang kosong di depan sana. Aku menggeleng, lalu kembali pada cerita.

Bruk! Terdengar kegaduhan dari tempat jemuran di loteng.

Aku terpaku sejenak, lalu menaruh rokok di asbak. Perlahan aku bangkit menuju pintu depan untuk memastikan kondisi, karena khawatir ada perampok. Jendela berbentuk persegi di sebelah pintu utama kubuka, kemudian mengintip di balik gorden bermotif bunga.

Sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik yang saling bersahutan malam itu. Aku kembali ke depan laptop untuk memeriksa naskah mengenai kuntilanak merah. Rokok yang tersisa setengah tak luput dari penglihatan dan kembali kuisap.

Aku membaca hingga paragraf akhir, kemudian bulu roma tampak berdiri. Pukul 01.22, rasa kantuk akhirnya mulai singgah. Namun, tugasku memeriksa naskah ini belum rampung, sehingga aku memilih untuk melanjutkannya.

Hihihi ….

Jelas sekali pekikan tawa itu memecah keheningan. Aku menoleh, sesosok wanita bergaun putih tampak melayang perlahan di depan jendela. Rambut hitam nan panjang itu terurai, tetapi aku tidak melihat wajahnya.

Sosok itu terus kuperhatikan, hingga kedua lengan yang tengah menggenggam ponsel bergetar. Dia tampak melayang, lalu memasuki rumah kosong itu lewat loteng. Aku menelan ludah, kemudian memutuskan untuk istirahat.

Hendak menaruh laptop dan menutup gorden, ketukan memecah keheningan. Aku merasakan tubuh lemas dan akhirnya mengabaikan suara dari depan. Ketika selimut mulai kupasang pekikan tawa itu kembali terdengar, hingga keringat membasahi bantal.

Aku terpejam dalam ketakutan. Rasanya ingin kuucap sesuatu, tetapi bibir ini seperti terkunci. Aku meraih sebuah headset, memutar lagu dalam playlist dengan volume kencang dan berharap tidak ada lagi gangguan.

****

05 Desember 2020

Aku terbangun, lalu mendapati headset yang terpasang tidak lagi mengalunkan sebuah lagu. Dalam kondisi suntuk, aku memikirkan kejadian semalam. Mengerikan. Sepanjang memeriksa naskah, aku tidak pernah mengalami peristiwa seperti itu. Charger di sebelah kuraih, kemudian mengisi daya ponsel yang sudah habis.

Ketika batrei smartphone terisi lima persen, aku langsung menyalakannya dan menunggu sejenak. Aplikasi biru kubuka, lalu menuliskan pengalaman mengerikan yang terjadi semalam. Tak lupa, nama penulis dalam cerita tersebut juga turut kucantumkan di dalam kabar berita.

Beberapa reaksi kudapat. Ada yang tertawa, kaget, bahkan hanya sekadar menyukai. Tak sedikit pula yang mengomentari postinganku itu. Hingga salah satu teman menulis ungkapan yang cukup mengejutkan bagiku.

[Memang, Mas. Biasanya kalo kita baca kisah mengenai “mereka” selalu ada yang nantinya datang, sebab, merasa terpanggil.]

[Untung yang putih, ya. Coba yang merah. Katanya lebih bahaya.]

[Serius nanya, memang bedanya merah sama putih apa?]

Membaca beberapa komentar aku sedikit terhibur. Akan tetapi, peristiwa semalam tentu tak dapat kulupakan begitu saja. Sebagai catatan bagiku, jika sudah merasa lelah ada baiknya untuk beristirahat dan menunda aktivitas.

Aku memercayai adanya makhluk-makhluk tak kasat mata di dunia ini. Pengalaman semalam sudah menjadi bukti, bahwa sesungguhnya kehadiran mereka ada meski tak mampu kulihat dengan mata telanjang.

Bandung, 02 Januari 2021

0 Komentar