BOLEH KUMINTA ANAKMU

 Penulis: Dewi Salam Amirudin


    Hari itu,  aku ingat malam Jumat. Entah malam Jumat Kliwon atau Pahing ataupun Legi. Aku lupa. Yang jelas itu malam Jumat. Malam yang menurut sebagian orang, adalah  malam keramat. Aku menunggu suamiku yang kebetulan hari ini sedang  kena shift sore. Jam baru menunjukkan pukul delapan malam. Waktu Isya baru saja lewat. Aku menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik di radio. Karena hanya itulah barang elektronik yang aku punya. Maklumlah sebagai pengantin baru yang langsung diajak merantau karena penempatan pekerjaan,  aku dan suami tidak punya cukup uang untuk membeli sebuah televisi. Kalau HP jelas kami tak punya. Karena pada jaman itu, akupun belum mengenalnya. Gerimis turun sejak selepas Magrib.

    Aku yang sedang hamil anak pertama  dengan usia kandungan sudah memasuki Minggu ke dua puluh, masih mengalami yang namanya mabuk dan ngidam. Badan selalu lemas. Karena makanan dan minuman yang masuk seringkali harus keluar kembali. Agar bisa mendengar bila suamiku pulang, aku biasanya menunggunya di ruang tamu, sambil tidur-tiduran di sofa, milik yang punya kontrakan.

    Sunyi. Tak ada lagi kudengar suara-suara tetangga yang masih terjaga. Sepertinya mereka lebih memilih berada di balik selimut. Ada rasa takut yang menyelinap di diri ini, tetapi mau apalagi. Aku tak punya sanak-saudara di sini. Begitupun suami. Mau minta tetangga menemani ya ... enggak mungkin juga. Toh mereka lebih senang berkumpul dengan keluarganya. Akhirnya terdiamlah aku dalam sepi yang dibalut dengan rasa takut.

    Dalam sepi dan  ketakutan ini,  aku hanya bisa mengingat  namaNya. Kusebut  berulang-ulang. Kulafalkan doa-doa dan surat-surat pendek yang aku bisa. Terus kubaca hingga lelah melanda. Kupejamkan mata agar bisa menghilangkan rasa takut. Dingin malam semakin menusuk. Angin yang berhembus dengan kencang menjatuhkan daun-daun ke atas atap rumah kontrakanku yang terbuat dari seng  dan menimbulkan suara yang kali ini membangunkan bulu kuduk. Suara tikus yang sepertinya sedang mengorek-ngorek tempat sampah yang kosong di pojok halaman menambah suara horor. Aku bertambah takut. Kuperbanyak doa-doa. Sampai akhirnya antara tidur dan tidak, mahluk menyeramkan yang badannya ditumbuhi bulu-bulu itu,  menghampiriku. Meraba perut buncitku.

    "Aku mau anakmu," katanya.

    "Ja-jangan ... jangan ... ini anakku," kataku, sambil menangis.

    "Tapi, aku menginginkannya," katanya lagi.

    Mahluk menjijikkan itu terus meraba perutku. Aku memberontak, tetapi mengapa badanku susah untuk digerakkan. Aku berteriak sekuat-kuatnya. Tak ada yang menolong. Aku tersadar rumah ini sepi. Cuma aku yang berada di sini. Aku terus berteriak dan  berusaha untuk  bangun. Selalu gagal. Seperti ada yang menahannya dengan kekuatan yang luar biasa. Kupanggil ibuku, bapakku dan suamiku. Semua tak ada yang dapat membantuku. Aku berteriak lagi dengan melafalkan nama Allah, aku berusaha berdiri. Kutahan semua rasa pusing di kepala dan begitu kubuka mata,  mahluk itu pun tak ada lagi kulihat.  Akhirnya karena tak kuat menahan bau anyir dan busuk yang ditinggalkannya, aku pun mengeluarkan isi perutku. Muntah.

    Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Setengah jam lagi suamiku baru akan pulang. Aku bertambah resah. Setengah jam terasa lama sekali.  Aku takut mahluk itu akan datang lagi. Aku menangis sambil merapalkan doa. Akhirnya karena letih, aku pun tertidur lagi. Sampai akhirnya aku mendengar kaca jendela diketuk.

    Tok ... tok ... tok ....

    Kulihat jam di atas pintu. Pukul dua belas kurang lima belas menit. Berarti itu ketukan suamiku.

    "Dek ... ," panggilnya.

    "Iya Kak, sebentar," jawabku, sambil berjalan ke pintu.

    "Kamu kenapa, kok pucat sekali?  Belum makan ya? Ini Kakak belikan tahu tek-tek kesukaanmu," katanya, sambil memperhatikan mukaku.

    "Aku takut, Kak," kataku, lirih.

    "Sebentar, Kakak buka baju dan mencuci tangan dulu,  baru nanti berceritalah," ujarnya.

    Dengan badan sempoyongan aku ke dapur mengambil piring dan sendok serta membuatkan teh hangat untuk Kak Amir, suamiku.

    "Ceritalah, Dek. Biar perasaanmu tenang," katanya, sambil sesekali menyeruput teh hangatnya.

    Aku menceritakan padanya tentang kedatangan mahluk berbadan besar dengan bulu di badannya, bermuka dan rambut yang kasar serta keinginan yang  tak masuk akal dari mahluk terkutuk itu, untuk mengambil anak dalam kandunganku.

    Kulihat suamiku marah. Rahangnya terlihat mengeras.

    "Akan kuhabisi mahluk-mahluk tak berguna itu!" serunya.

    Kak Amir memandangku. Kemudian dia memelukku, memberikan kekuatan kepadaku.

    "Sudah jangan takut. Akan Kakak usir siapa pun yang akan mengganggumu dan anak kita. Kita punya Allah, berlindunglah padaNya," ujarnya sambil terus menciumi perutku.

    "Adek tidur saja. Biar Kakak menjagamu dan anak kita malam ini," katanya.

    Akhirnya setelah menyelesaikan makanku, Kak Amir mengantarku ke kamar. Segera suamiku mengambil wudu dan langsung melaksanakan salat malam yang dilanjut dengan membaca Al-Qur'an. Ada rasa iba. Seharusnya dia beristirahat setelah lelah bekerja. Ini malah harus menjagaku. Karena lelah dan mengantuk setelah ikut mendengarkan lantunan ayat-ayat Al-Qur'an, akhirnya aku pun  tertidur dan baru terbangun setelah mendengar azan Subuh.

    "Kakak mau salat dulu ya. Kalau mau ke kamar mandi hati-hati," katanya ketika melihat aku sudah terbangun.

    Pagi begitu cerah, setelah semalaman diguyur hujan.   Matahari bersinar dengan indahnya,  memberikan kehangatan pada mahluk- mahluk yang hidup di atasnya. Burung-burung pun mulai menyanyikan kidung-kidung kehidupan dari pohon-pohon akasia, nangka dan  jambu yang berada di halaman rumah kontrakanku. Memberikan semangat kepada siapapun yang mendengarnya. Aku memulai aktivitas pagi ini dengan ritual 'morning sick'.  Rasanya baru merasa lega saat cairan berwarna kuning dan berasa pahit  telah keluar dari dalam perutku. Kemudian aku pun mulai  menjemur badan ini dengan berjalan-jalan di sekitar halaman rumah.

    "Dek Dewi ...." seseorang memanggilku.

    "Iya Kak," kataku,  pada  Kak Imul, tetangga belakang rumah.

    "Adek sehat-sehat aja kan?" tanyanya.

    "Alhamdulillah Kak, cuma ritual pagi masih belum bisa ditinggalkan," kataku.

    "O, syukurlah," katanya.

"Dek, si Nur keguguran," katanya lagi.

    Ups, aku menutup mulut.

    "Tadi malam katanya dia seperti mendengar  suara-suara bebek di bawah panggung rumahnya. Kemudian dia merasakan perutnya sakit semalaman. Hingga akhirnya sebelum Subuh, darah keluar mengalir di kakinya. Setelah diperiksa sama Julak Salmah, katanya bayi Nur sudah  diambil kuyang. Sekarang Nur sedang dibawa ke rumah sakit untuk dikuret."

    Aku menangis.  Aku menjadi takut sekali. Karena tadi malam pun,  bayi ku hampir diminta oleh mahluk menyeramkan itu.

    "Alhamdulillah, kamu sehat, Dek. Jaga kandunganmu, ya. Jangan lupa selalu membawa gunting kecil, bulu landak, bangle dan Yasin kecil, " katanya.

    Aku mengiyakan.

    Memang begitulah, saran yang diberikan oleh Julak Salmah, tukang urut yang biasa mengurut orang-orang yang sedang hamil, dan ini memang sepertinya sudah menjadi tradisi,  kebiasaan, kepercayaan turun temurun dari masyarakat Kalimantan,  khususnya Balikpapan. Aku mengikutinya semata-mata karena untuk kebaikan.

    "Kak, saya masuk dulu ya. Ini mulai mual lagi," kataku pada Kak Imul.

    "Iya, Dek. Hati-hati ya," katanya sebelum aku masuk ke dalam rumah.

    Jadi memang benar. Apa yang kurasakan bukan sekedar mimpi. Itu nyata. Aku masuk ke kamar. Kulihat Kak Amir masih tertidur pulas. Aku ke luar lagi. Biarlah dia puas tidur. Aku tidak boleh mengganggunya. Akhirnya aku pun mulai sedikit menyibukan diri dengan mencuci piring dan gelas bekas sarapanku. Nanti kalau Kak Amir sudah bangun akan kuceritakan kejadian yang menimpa Mbak Nur.

    "Assalamualaikum." Seseorang mengucapkan salam.

    "Waalaikum salam," jawabku.

    Kulihat Kak Imul dan Acil Ida sudah berada di depan pintu pagar. Aku mempersilahkannya mereka masuk dan kami pun bicara di teras rumah.

    "Wi, kamu hati-hati. Pagi ini ada dua orang yang keguguran. Si Nur dan si Yuli. Terus si Rusna, yang tinggal di RT sebelah bayinya juga  meninggal di dalam perut." Acil Ida membawa kabar yang membuatku kaget bukan kepalang. Aku terduduk di kursi teras.

    "Banyak membaca doa, Dek," kata Kak Imul.

    "Terus jangan suka melamun," lanjut Acil Ida.

    "Iya Cil," kataku lirih.

    "Ya sudah masuk sana. Enggak usah keluar-keluar dulu. Aura udaranya lagi enggak bagus," kata Acil Ida. Aku mengangguk.

    "Terima kasih Cil, Kak," kataku.

    Setelah mereka pergi aku pun segera menutup pintu.

    "Ada tamu siapa tadi, Dek?" tanya suamiku yang baru bangun tidur.

    "Itu tadi Acil Ida dan Kak Imul. Mereka bilang Mbak Nur dan Mbak Yuli keguguran dan Mbak Rusna yang tinggal di RT sebelah bayinya meninggal di dalam perut."

    "Astaghfirullah. Innalilahi wainnailaihi rojiun." Suamiku pun ikut kaget mendengar berita ini.

    "Jadi ibu hamil tinggal dua, ya Dek. Kamu dan istrinya Imran."

    "Iya Kak," kataku, tak bersemangat.

    "Sudah, kamu jangan terlalu hanyut dengan berita ini. Kita harus tetap semangat dan selalu berdoa. Kalau kamu terlalu larut dalam kesedihan dan ketakutan, Kakak takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terhadap kandunganmu. Jadi kembalilah seperti semula. Hati bahagia dan jangan lupa terus memohon perlindungan kepada Allah," kata Kak Amir sambil mengelus perutku. Suamiku benar, orang hamil itu harus bahagia.

 

**

 

    Akhirnya waktu sembilan bulan pun datang. Setelah lewat dua hari, aku pun melahirkan putra pertamaku dengan selamat. Namun, ada yang aneh, saat suamiku membawa tembuni anakku. Karena anakku lahir pas tengah malam maka  sehabis Subuh, baru suami membawa pulang tembuni itu untuk dibersihkan dan dikuburkan. Sepanjang perjalanan, karena melewati pinggir hutan jalan Minyak, suami merasa was-was, seperti ada yang mengikuti. Dengan bacaan yang dia bisa, suami terus mengendarai motornya. Dan akhirnya tibalah suami di rumah Julak Salmah, tukang urut langgananku.

    "Astaghfirullah Mir, cepat bawa masuk tembuni itu. Dasar setan enggak tahu diri," sungut Julak Salmah. Segera dibersihkannya tembuni dan dikuburkannya dengan diiringi doa-doa.

    "Untung aku ada di luar, Mir," kata Julak Salmah, ketika selesai mengubur tembuni anakku.

    "Kenapa memangnya Julak?" tanya suamiku.

    "Itu si Kunti mengikutimu dari hutan jalan Minyak. Ngiler dia lihat tembuni anakmu." Suamiku kaget. Akupun ikut kaget ketika suami menceritakan kejadian itu padaku.


Footnote:

1.      Morning sickness : Mual, muntah saat hamil                                   

2.      Tembuni=ari-ari     : Sesuatu yang keluar setelah bayi lahir

3.      Julak                      : Kakak dari orang tua/panggilan dari orangyang lebih tua dari  

  orangtua kita.

                                   

Balikpapan, 14 Januari 2021

0 Komentar