Canting Mbah Kakung

Oleh Rima Karima

 

 

"Ria, ayo masuk! Tak baik berdiri di depan pintu. Jangan menghalangi jodoh yang mau masuk!" tegur ibuku.

 

Aku mundur beberapa langkah menjauhi pintu. Terbersit kekhawatiran setiap mendengar kata-kata yang menyangkut mitos. Apalagi urusan jodoh, hal yang paling aku takuti.

 

"Ria, ibu besok mau nengokin Mbah Putrimu. Kamu mau ikut, enggak?" Ibu berucap setelah aku duduk di depannya.

 

Bayangan rumah kuno sejenak melintas di benak. Dua tahun semenjak Mbah Kakung meninggal, aku belum pernah mengunjunginya lagi. Selalu saja mencari alasan untuk tidak ikut pulang ke kampung ayahku.

 

Perasaan bersalah terus menikam di dada. Mbah Kakung menginginkan aku menikah dengan lelaki pilihannya. Aku yang sombong, seakan meremehkan lelaki yang tidak setara dengan latar pendidikanku dan menolak langsung tanpa meminta untuk berpikir.

 

"Nduk, hati-hati omonganmu! Ojo gumedhe, sekali nolak lamaran, bakal suwe maneh tekone."(1)

 

Ucapan Mbah Kakung yang menohok terus terngiang sampai sekarang. Kala itu, ibuku langsung sujud di kakinya, memohon ucapan lelaki tua yang terlihat masih gagah itu agar ditarik kembali.

 

Akhirnya kenyataan itu terjadi. Sampai sekarang, di usiaku yang menginjak tiga puluh lima tahun, tidak ada satu pun lelaki yang mendekatiku. Mungkinkah mitos itu  jadi kenyataan? Atau karma? Entahlah.

 

"Ria, kok bengong. Ikut, enggak? Nanti Ayah cari sopir. Ayah enggak bisa ikut, ada seminar di Bali." Ayah menanyakan seakan tahu keraguanku.

 

"Lagian kamu juga enggak ada kerjaan, 'kan? Enggak usah kelamaan mikir. Ibu juga kangen sama Mbah Putri, sekalian nanti mau ke makam Mbah Kakung," timpal ibu.

 

Aku mengangguk setuju. Mungkin saatnya aku harus menebus kesalahanku. Siapa tahu setelah menengok makamnya, jodohku segera datang.

 

***

 

Seminggu kemudian

 

"Nduk, kamu tahu, kenapa Mbah Kakung memilihkan lelaki buatmu?" tanya Mbah Putri sore itu.

 

Aku menggeleng pelan. Timbul penyesalan, kenapa dulu tidak terbersit menanyakan hal itu.

 

"Kamu satu-satunya cucu perempuan. Beliau ingin, di antara cucunya, ada yang mewarisi usaha batik. Nah, lelaki pilihan Mbah itu, dia anak teman bisnisnya yang dipercaya meneruskan usaha ini," tutur Mbah Putri ketika kami duduk di ruang tengah.

 

Ayah merupakan putra tunggal dari Mbah Solihin, pengusaha batik terkenal pada masanya. Sarung Batik Tulis Cap Tiga Negeri dengan metode canting tidak ada yang mewarisinya.

 

Ayah lebih memilih kerja di perusahaan asing dari pada meneruskan usaha keluarga yang saat itu sedang turun.

 

"Nduk, dua kakak lelakimu juga tidak mau meneruskan bisnis batik. Mereka lebih memilih bekerja di kantor pemerintahan. Makanya, Mbah sangat berharap padamu waktu itu, biar kamu bisa menemani kita di saat tua," ucap Mbah Putri menerawang.

 

Terlihat sudut matanya berair. Kesedihan  terangkum jelas di raut wajahnya yang keriput. Ibuku yang di sampingnya hanya terdiam, sesekali mengusap air matanya seraya tak henti memijatnya.

 

Tiba-tiba terdengar pintu penghubung ruang belakang dengan ruang tempat penyimpanan batik tertutup sendiri. Kami saling berpandangan, embusan angin malam seolah-olah membelai tengkukku yang membuat bulu kuduk ini berdiri.

 

"Mbah Putri, Ria mau tidur sama Mbah, ya?" pintaku seraya menggelayut di bahu  kanannya.

 

Mbah Putri tersenyum mengiyakan. Kami lantas menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar kosong tempat penyimpanan batik.

 

Malam itu, mataku sulit terpejam. Dentang jam dinding kudengar dua belas kali. Aku terkesiap, iramanya tidak seperti biasa menggema dari arah kamar kosong dan disusul bunyi gerakan kayu saling bergesekan.

 

Ada kekuatan magis yang seakan menarikku untuk mencari arah sumber suara aneh itu. Pintu kamar ini terbuka dengan sendirinya. Kulirik Mbah Putri yang sudah pulas di sebelahku.

 

Angin seakan menuntunku ke kamar sebelah. Terlihat tiga jendela besar menyerupai lemari kuno berukir kayu dan dua pintu yang sama tingginya. Salah satu pintu itu terbuka dan menutup dengan sendirinya begitu aku masuk.

 

Mataku tak berkedip. Sebuah canting besar berwarna kuning keemasan dengan ujungnya yang lancip dan gagang kayu yang di pernis mengilap terdapat di atas meja sudut kamar tepat di bawah lukisan Batik Tulis Cap Tiga Negeri.

 

Aku melangkah perlahan, mendekati benda itu. Tulisan angka di gagang seolah-olah timbul. Aku mengusap dan menyentuh satu demi satu angka yang tertulis di sana. 1-9-4-8. Angka itu meredup kemudian menyala sempurna.

 

"Tahun kelahiran ayah."

 

Tiba-tiba terlihat seorang lelaki tampan berdiri di depan pintu yang menghubungkan dengan ruangan lain. Dia memakai blangkon dan sarung batik buatan Mbah Kakung. Namun, bagiku tempat itu tidak asing. Sepertinya berada di belakang rumah kuno, tempat ayahku dilahirkan.

 

Awan berarak perlahan mengantarkan sang surya yang mulai bertugas saat aku mengikuti lelaki itu. Kelopak mata ini berpendar, pemandangan yang menakjubkan yang selama ini hanya mendengar cerita dari kedua orang tua dan Mbah Putri tersuguh di depan mata.

 

Adanya gawang, alat penyangga yang terbuat dari kayu untuk meletakkan kain saat membuat batik berjejer melingkar. Ditengahnya terdapat wajan besar dengan kompor kecil menyala dengan api kecil dibawahnya.

 

Aku menghitung jumlah gawangan dan dingklik, tempat duduk kayu yang semuanya berjumlah tiga puluh lima. Tiap satu wajan terdapat lima gawangan, dengan canting yang berjejer rapi di tempatkan dalam satu kotak terbuka yang berjumlah sepuluh dengan ukuran lubang berbeda-beda.

 

Langkahku tertahan ketika melihat beberapa drum besar dibawahnya terdapat kayu bakar dan disebelahnya tempat yang dibuat mirip kolam renang kecil dangkal.

 

"Mungkin itu tempat untuk menyelupkan kain setelah dimasukkan ke dalam drum besar."

 

Beberapa saat kemudian, para pekerja mulai berdatangan. Aku bersembunyi dibalik lemari kayu yang berada di ujung ruangan -lemari yang sekilas mirip pintu- disebelahnya terdapat beberapa meja kayu berbentuk persegi tempat untuk menggambar pola dan mewarnai.

 

Adrenalinku terpompa deras, detak jantungku begitu cepat. Ketika lelaki itu tiba-tiba berbalik ke arahku bersama dua orang lelaki dan satu wanita setengah baya.

 

"Penyusup ada di sini! Mata-mata juragan Bimo, pencuri motif Tiga Negeri. Tangkap dia!" teriak lelaki bertubuh kekar.

 

Teriakan kencang membuat pekerja laki-laki ikut berlarian ke arahku. Aku tersontak langsung berbalik arah, berlari dari kejaran mereka.

 

Lariku tak tentu arah, mencari pintu yang semuanya mirip lemari. Hingga tiba-tiba seseorang menarik tanganku ketika gagang salah satu pintu terbuka.

 

"Mbah Kakung ..." desisku terengah-engah. Lelaki itu hanya diam, hanya menunjukkan arah di mana pintu keluarnya.

 

 

***

 

"Ria, bangun! Kenapa tidur di sini?" Wanita tua yang telah melahirkan ayah itu membangunkanku.

 

Aku menatap bergantian ke wajah dua wanita yang aku kagumi. "Bu, Mbah Putri, aku di mana?" tanyaku bingung.

 

Ibu menangis sambil memelukku erat. "Tiga hari tiga malam kami semua mencarimu, Nduk. Ternyata kamu di sini," ujar wanita berhati lembut itu sambil mengelus rambut panjangku.

 

"Dulu, ruangan ini tempat menggambar pola. Peralatan pembuatan batik yang masih tersisa tersimpan di sini," jelas Mbah Putri lantas membuka lemari kayu.

 

"Canting ini pemberian Mbah Buyut ke Mbah Kakungmu, Nduk. Ini lah benda yang pertama kail kami miliki, sewaktu buka usaha batik hingga tersohor di Negeri Pasundan."

 

"Canting itu ...." Aku tertegun.

 

"Apa ini pertanda aku harus meneruskan usaha Batik Tulis Cap Tiga Negeri lantas menemukan jodohku?"

 

 

Pekalongan, 14 Januari 2021

 

Catatan :

 

1. "Nduk, hati-hati ucapanmu. Jangan sombong! Sekalinya menolak lamaran, bakalan lama datangnya lagi."

2. Dingklik, tempat duduk pendek/kecil yang terbuat dari kayu

3. Gawangan, tempat untuk meletakkan bahan saat membatik semacam jemuran kecil terbuat dari kayu

0 Komentar