UANG

"Ya, Bapak coba pikir juga! Enggak mungkin 'kan, tiap Ibuk ngitungin uang, hilang selembar-dua lembar terus kayak gitu!"

Bukan hal baru untuk Bu Isna mengeluarkan keluhan akan uangnya yang mendadak hilang. Padahal, dia yakin sekali jika setiap gulungan yang dibuat selalu tepat satu juta, dengan sepuluh lembar uang seratus ribu. Lalu, tiba waktunya belanja barang dagangan, mendadak ada saja tangan jahil yang mengambil selembar-dua lembar hasil keringatnya.

Bu Isna mungkin bisa merasa wajar jika hal itu terjadi sekali-dua kali saja. Menilik jika dirinya bukan pemilik ingatan yang bagus. Tapi, Bu Isna juga tidak segitu bodohnya. Ketika uang yang ia simpan dengan baik selalu kurang dari jumlah semestinya.

"Sudah toh, Buk. Uang bisa dicari. Jangan emosian begini."

"Ya, kita susah-susah nyari uang, dan mereka seenaknya ngintili sebiji-sebiji!" dengkusnya kesal. Menampik tangan Pak Rofiq yang berada di bahu. "Sudahlah! Ibuk mau ke pasar saja." Mengambil tas dengan sedikit kasar, lalu langkahnya juga dihentak-hentakkan.

Wajar jika emosi Bu Isna tidak dapat dikendalikan. Jika biasanya dia akan kehilangan paling banyak sebulan dua sampai tiga kali, dua hari ini uangnya raib lima ratus ribu.

Diikat, distaples, bahkan diletakkan di tempat yang berbeda untuk menghindari kehilangan. Tapi, seolah itu semua belum cukup. Uang-uang itu masih raib dengan sendirinya, membuat kepala Bu Isna mengeluarkab asap murka.

Menitipkannya pada bank menjadi sesuatu yang kurang efisien. Bu Isna kerap berbelanja keperluan dagang seminggu dua kali. Jika menitipkan uang, lalu mengambilnya, dia merasa hanya akan membuang banyak waktu. Terlebih jika butuh uang di saat darurat. Sama sekali tidak membantu.

"Sudah, Buk. Banyakin doa saja. Nanti diganti sama Allah yang lebih baik." Sorot mata Pak Adam juga terlihat lelah. Tentu dia ikut merasakan apa yang Bu Isna alami. Kemarahan istrinya bukan tanpa alasan.

"Enggak tahu lah! Ibuk pusing!" keluhnya, menata baju-baju untuk dijual nanti.

Pak Adam pamit pulang setelah membantu Bu Isna membereskan dagangan. Meninggalkan sang istri yang mulai sibuk dengan pelanggan. Bukannya tidak mau membantu, Pak Adam malah akan membereskan barang-barang di rumah dan membawa apa yang Bu Isna butuhkan. Dia akan bergegas ke pasar setelah dihubungi nantinya.

"Ukuran M ada nggak, Mbak? Kalau S masih kekecilan kayaknya."

"Ada, tapi beda warna, mau?"

"Nggak apa-apa, lah. Penting masih gelap gitu warnanya."

"Mbak Is, kalau yang ini ada ukuran lebih kecil, nggak?" tanya pelanggan lain. Sembari mencari barang tadi, Bu Isna menoleh untuk memberikan perhatiannya.

"Aduh, itu udah yang paling kecil, Mbak. Nggak ada lagi."

"Yah! Ini kalau dikecilin perutnya bakal aneh banget pasti," gerutu pelanggan tadi, memperhatikan pola yang ada di baju. "Enggak dulu lah, Mbak. Nanti kalau ada yang bagus aja aku beli."

"Iya, Mbak. Nggak apa-apa," balas Bu Isna santai. Memberikan barang untuk pelanggan pertamanya tadi.

"Ya udah, saya ambil ini, ya? Ada warna lain nggak, Mbak? Saya ambil dua kalau ada warna lain."

"Ada."

Pelanggan terus berdatangan silih berganti. Bu Isna melayaninya dengan baik, memberikan senyuman, membalas dengan ramah. Sebelum sosok yang familiar datang mendekat membawa uang seratus ribu di tangan.

"Ndok, ijol duwet iso?"

"Pinten, Buk?"

 

"Iki aku ono satus ewu, ijoli rong puloh limo yo elah, seket loro yo elah. Penting dok ijoli."

Mendengar kalimat tersebut, ingin rasanya Bu Isna menolak. Tapi, di tangannya jelas ada dua lembar lima puluh ribu. Menolak pun bisa disangka memusuhi orang yang masih saudara jauh itu. Berat hati Bu Isna menyerahkan uangnya.

"Matur nuwon, Ndok," balas perempuan setengah baya itu.

Tersenyum kecut menanggapi kalimat tadi. Bu Isna membuang napas pelan, berusaha menampik pikiran buruk di kepala. Mengingat, dua hari yang lalu, perempuan paruh baya itu juga menukarkan uang dan seolah memberi paksaan dengan meminta nominal berapa saja.

...

"Ya sudah, kalau Ibuk ragu, uang yang ditukar tadi tinggal di pasar saja," ucap Pak Adam setelah mendengar cerita dari istrinya. Bu Isni mendesah pelan, berpikir jika itu akan percuma, tapi tetap melakukannya untuk menenangkan hati.

"Ibuk wudu aja, terus solat. Tenangkan pikiran." Pak Adam memberikan saran ketika mendapati wajah istrinya masih kusut setelah sampai di rumah. Berhubung sudah masuk waktu solat asar juga.

Bu Isna mengangguk lemah. Membawa kakinya menuju kamar mandi, sedangkan Pak Adam berdiam di teras untuk merokok.

Selesai wudu, langkah yang masih terasa berat itu bergerak menuju ruang solat yang juga menjadi tempat beradanya almari baju.

"Kok prengos, ya?" gumam Bu Isna saat mendekati ruang beribadah di rumahnya.

"Ngik, ngik." Suara aneh terdengar dari dalam, bersamaan dengan aroma prengos yang makin kuat.

Bu Isna membuka kasar pintu ruang solat tersebut. Menatap nanar makhluk yang berdiri di depan almarinya. Babi besar dan bertanduk dengan tubuh yang nyaris setengah dari almari itu sendiri.

Merasakan kakinya lemas, Bu Isna terduduk di lantai. "Pak! Babi, Pak! Paaakkk!" Berteriak untuk mencari pertolongan. Di depan matanya, dia melihat sendiri bagaimana babi itu langsung raib, seolah tertelan udara.

"Pak, Babi! Babiii," lirihnya, tidak dapat menahan keterkejutan itu sampai nyaris pingsan.

...

"Tahu gitu Ibuk pegang saja itu babinya, biar nggak bisa balik jadi manusia! Jahat banget jadi orang!" omel Bu Isna. Kesadarannya telah pulih, keterkejutan tadi juga sudah berubah menjadi emosi yang lebih besar.

Bu Isna mendesah pelan. Menyandarkan kepala pada bahu Pak Adam. "Pak, Ibuk kok curiga sama orang, ya? Apa bener Bu"

"Buk, nggak boleh suudzon gitu. Kalau salah, jatuhnya kita yang berdosa. Kita yang nanti mendapat hukuman menjadi kafir, menggantikan orang yang kita curigai jika dia tidak bersalah."

"Ya! Bapak pikir juga dong. Masa nuker uang pakai maksa. Boleh berapa aja! Hadeuh, kan jadi makin curiga!"

"Udah-udah. Jangan berpikiran negatif terus. Ibuk istirahat, Bapak mau merokok sebentar."

"Hm," balas Bu Isna, sedikit dongkol dengan tanggapan yang suaminya berikan.

Menarik selimut sebatas dada, lalu mulai memejamkan mata. Bu Isna terlalu lelah dengan peristiwa tadi siang. Kepalanya cukup berat, dan dia ingin segera menyapa alam mimpi.

Kalau saja aroma busuk tidak menyeruak masuk ke penciuman. Memaksanya untuk kembali terjaga, meski remang-remang cahaya baru masuk.

Seolah kejadian babi ngepet tadi belum cukup untuk membuat Bu Isna terkejut. Kini, ada sosok pocong kembar berdiri di hadapan. Wajah yang rusak, aroma tanah bercampur darah busuk. Ulat-ulat memenuhi tubuh pocong tersebut.

"Bapak!"

Bu Isna sadar sekarang. Dia telah diincar entah oleh siapa. Tidak ada yang perlu dielak lagi.

END

0 Komentar