Saat ini adalah hari pernikahanku. Di
suatu ruangan, tergantung sebuah gaun pengantin yang sudah dipilihkan untukku.
Namun, entah mengapa, ada rasa enggan untuk memakainya. Mungkin karena aku
sebenarnya memang kurang setuju dengan pernikahan ini. Aku merasa belum begitu
mengenal sosok calon suami, meskipun semua berkata bahwa dia seorang pria yang
baik dengan pekerjaan mapan.
Jadi, sekalipun ini adalah hari
pernikahan yang seharusnya menjadi suatu peristiwa tak terlupakan, aku malah
sengaja berlama-lama pergi ke tempat acara. Maka dari itu, tak heran kalau tiba
terlambat sekitar tiga puluh menit, dari waktu yang sudah direncanakan. Semua
pihak termasuk para undangan tampak sudah hadir memenuhi ruangan.
Aku memakai baju pesta warna putih
tanpa lengan dan rok bawah selutut. Aku memegang buket bunga lily berwarna
putih dan berjalan perlahan-lahan ke arah mimbar. Ruangan sekitarku gelap
gulita sehingga sulit mengenali rupa semua orang yang hadir. Aku cuma bisa
melihat Mbak Merry, kakak perempuanku yang berdiri dengan gaun kuning menyala.
Dia memegang kertas di tangannya, bertindak sebagai pembawa acara.
Duduk di kursi terdepan adalah Ayah
dan Witno, adik bungsuku. Mereka mengenakan setelan putih-putih dari baju, jas,
sampai celana panjang kainnya. Di dada keduanya, terselip bunga lily putih.
Mereka menatapku dengan wajah berbinar-binar, menunjukkan rasa amat bahagia.
Sementara di mimbar, berdiri seorang wanita yang aku kenal baik. Namanya Bu
Masnah, salah seorang pengurus majelis gereja. Tubuhnya dibalut gaun putih
panjang dengan bunga lily di dada.
Ketika melihatku datang, Bu Masnah
langsung berkata kepada hadirin, "Ini dia calon mempelai wanita. Ayo, beri
tepuk tangan yang meriah."
Seluruh hadirin pun bertepuk tangan.
Aku lantas menyodorkan buket bunga lily putih tersebut kepada Bu Masnah.
Tiba-tiba ada suatu bisikan yang amat jelas di telingaku ....
***
Perlahan mataku terbuka dan mendapati
diri ini sedang berbaring di sebuah ruangan berwarna putih. Aku lantas teringat
baru saja menjalani sebuah operasi serius yang mengharuskan diberi bius total.
Ibu dan Mbak Merry tampak sedang duduk tak jauh dariku. Mereka kemudian
tersenyum menyaksikan aku yang sudah sadarkan diri.
"Gimana rasanya, Flo?"
tanya Ibu.
Aku hanya tersenyum lemah. Tiba-tiba
Mbak Merry menjerit kaget saat memegang ponsel dan membaca sebuah berita.
"Bu Masnah baru saja meninggal mendadak!" serunya.
"Hah ... lha, barusan tadi pagi,
dia menelepon dan menanyakan kabar Flora," sahut Ibu tak percaya.
"Iya, paling kemungkinan besar
Bu Masnah kena serangan jantung," tambah kakakku itu.
Aku hanya bisa diam mendengar berita
mengejutkan tersebut. Ibu dan Mbak Merry terlihat sibuk dengan ponselnya
masing-masing. Mereka mungkin sedang menanyakan kebenaran perihal berita duka
yang baru saja tersiar.
Kematian memang salah satu misteri
terbesar, meski tak jarang sebelumnya sudah ada tanda-tanda atau firasat yang
diperoleh oleh seseorang. Namun, tentu tak semua bisa peka dan terkadang baru
menyadari saat hal tersebut sudah terjadi. Aku kebetulan pernah beberapa kali
mengalaminya.
***
Sudah beberapa hari, aku menemani
Ayah yang terbaring tak sadarkan diri. Beliau menderita kanker otak. Aku
sebetulnya kurang suka dengan aroma khas obat-obatan, infus, rintihan para
pasien, dan lain-lain. Belum lagi, cerita-cerita seram seputar rumah sakit ini
yang pernah kudengar, tak urung membuat nyali jadi agak ciut juga. Untunglah,
sampai sekarang, semua baik-baik saja. Tidak terjadi sesuatu yang aneh-aneh.
Malam itu, setelah puas bermain
dengan ponsel untuk mengusir rasa sepi, aku tidur di sebuah ranjang kecil. Baru
saja terlelap, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara teriakan yang cukup keras.
"Siapa kamu? Sembarangan saja
mau langsung ajakin saya!"
Sontak, aku terbangun dan tersentak
saat menyadari yang baru saja berteriak itu adalah Ayah. Meski kaget setengah
mati, tetapi tak urung ada rasa senang, saat mengetahui beliau akhirnya dapat
siuman juga. Beberapa perawat langsung masuk ke ruangan kami.
Dengan napas tersengal-sengal dan
ekspresi kesal, Ayah bercerita. Tadi ada seseorang yang berusaha menarik tangan
dan mengajak dia untuk ikut secara paksa. Beliau padahal merasa sama sekali
tidak mengenal orang tersebut. Ciri-cirinya seorang lelaki, umur kurang lebih
sebaya dengan Ayah, botak, dan punya tahi lalat cukup besar di bawah bibir.
Setelah ditenangkan oleh para
perawat, Ayah langsung tidur kembali dengan pulas. Beliau seperti sudah tidak
dihantui lagi oleh mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Aku yang justru jadi
sulit tidur semalaman.
Pagi harinya, dengan mata masih
mengantuk, aku pergi ke kantin untuk membeli roti dan kopi. Sewaktu kembali dan
hendak membuka pintu, tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara tangisan.
Spontan, aku melongok ke kamar itu yang kebetulan pintunya terbuka karena
beberapa perawat baru saja masuk. Alangkah kagetnya ketika mendapati siapa yang
sedang menangis. Dia adalah Erna, teman sewaktu SD dan SMP.
Aku perlahan mendekati dan
menyapanya. Gadis itu menoleh dan tampak terkejut dengan kehadiranku.
"Flora, ngapain kamu di
sini?" tanyanya.
"Eh, aku lagi nungguin Ayah.
Sudah empat hari di sini," jawabku.
"Papaku semalam kena serangan
jantung. Ini barusan meninggal," jelas Erna dengan suara bergetar.
"Yang tabah, ya Er, aku pun dari
kemarin mencemaskan kondisi Ayah," ucapku.
Kami berpelukan erat menumpahkan
segala emosi perasaan. Saat melihat jenazah papa Erna, aku baru tersadar kalau
dia botak dan mempunyai tahi lalat cukup besar di bawah bibir!
Semenjak kejadian sempat terbangun di
tengah malam itu, Ayah 'tidur panjang' alias tidak sadarkan diri kembali. Hal
ini terus saja terbayang-bayang di benakku. Andai Ayah waktu itu tidak menolak
'ajakan' papa Erna, mungkinkah mereka akan meninggal dalam waktu nyaris
bersamaan? Wallahu A'lam.
Beberapa hari kemudian, barulah Ayah
tersadar kembali. Dengan suara terbata-bata, beliau berkata, "Saya
bermimpi melihat dua peti mati. Satu tertutup yang lain masih terbuka. Peti
yang tertutup itu diturunkan perlahan ke liang lahat, sementara saya memainkan
sebuah lagu kematian dengan saxophone."
Mendengar hal itu, aku menangis. Tak
lama kemudian, Ayah benar-benar pergi. Aku pun akhirnya paham bahwa Tuhan tak
selalu memanggil pulang seseorang secara mendadak. Terkadang, sudah ada
pemberitahuan, entah melalui mimpi, atau peristiwa sehari-hari sebagai firasat.
Misalnya jari terkena pisau, tak sengaja memecahkan gelas, dan lain-lain.
***
Ketika Witno sakit leukemianya
bertambah parah, aku diberi suatu mimpi. Empat malaikat besar berlari menapaki
tangga rumah sakit di sepanjang lorong yang gelap pekat. Mereka bergerak cepat,
seolah-olah ada misi khusus yang harus segera diselesaikan.
Mereka masuk ke kamar di mana adikku
dirawat. Ketika keempat malaikat ini duduk mengitari ranjang Witno, atap rumah
sakit, bahkan langit terbuka. Dari atas langit itulah sebuah sinar terang masuk
menerobos kamar dan menyinari wajah adikku sampai ke pinggang.
Aku pun bertanya, "Ngapain
kalian di sini?"
Salah seorang dari mereka menjawab,
"Nungguin adikmu."
Aku salah paham dan mengira Witno
akan bertahan hidup karena dijaga oleh empat malaikat, bahkan surga turut
mengawasi juga.
Ternyata ... mimpi itu adalah
pemberitahuan bagaimana Tuhan akan membawa pulang selamanya adikku.
***
Aku masih ingat saat ibadah dua
minggu yang lalu, Bu Masnah terlihat bersemangat menyapa dan menyalami hampir
semua jemaat yang hadir. Apakah dia sudah punya firasat sehingga seolah-olah
ingin berpamitan kepada setiap orang? Entahlah! Ini juga bagian dari misteri.
Aku makin merenung. Ingatan akan
suasana dan kejadian di 'tempat acara pernikahanku' serta bisikan itu masih
segar menempel di benak.
Jika dalam ruangan tersebut, cuma ada
empat orang berpakaian putih. Dua di antaranya yaitu ayahku dan Witno sudah
meninggal beberapa tahun yang lalu. Satu orang sudah hendak dijemput oleh maut
dan mengucapkan pidato perpisahan. Orang terakhir adalah ... aku!
Apakah teman-teman semua bisa
mengerti apa arti dari semua ini? Namun, yang melegakan adalah aku ada di sana
menjelang acara berakhir. Tidak mengenakan gaun pengantinku dan buket bunga
lily putihnya diberikan kepada Bu Masnah. Jadi, aku masih hidup semata-mata
adalah rahmat anugerah dari Tuhan. Dia berkenan memberikan 'perpanjangan waktu'
dalam umur hidupku. Ini adalah isyarat nyata dari surga. Jika teman-teman
penasaran kalimat apa yang dibisikkan ke telingaku: "It is her
funeral!"
Tegal, 14-1-2021
Note: It is her funeral artinya saat ini (adalah) pemakamannya (Bu Masnah)
0 Komentar
Untuk fast respon silahkan langsung menghubungi nomor yang sudah tertera.
Terima kasih.